Assalamu'alikum wa'rahmahtullahi wa'barakatuh.
Dikisahkan dalam sebuah kisah:
BAI
FANG LI adalah seorang tukang becak. Seluruh hidupnya dihabiskankan di
atas sadel becaknya, mengayuh dan mengayuh utk memberi jasanya pada
orang yang naik becaknya.
Mengantarkan kemana saja pelanggannya menginginkannya,
dgn imbalan uang sekedarnya.
Tubuhnya tidaklah perkasa. Perawakannya malah tergolong kecil untuk ukuran becaknya atau orang-orang yang menggunakan jasanya.
Tetapi
semangatnya luar biasa untuk bekerja. Mulai jam enam pagi setelah
melakukan rutinitasnya untuk bersekutu dgn Tuhan. Dia melalang
dijalanan, diatas becaknya untuk mengantar para pelanggannya. Dan ia
akan mengakhiri kerja kerasnya setelah jam delapan malam.
Para pelanggannya sangat menyukai Bai Fang Li, karena ia pribadi yg ramah dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya.
Dan ia tak pernah mematok berapa orang harus membayar jasanya.
Namun karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yg menggunakan jasanya membayar lebih.
Mungkin
karena tdk tega, melihat bagaimana tubuh yang kecil malah tergolong
ringkih itu dgn nafas yang ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai
menanjak) dan keringat bercucuran berusaha mengayuh becak tuanya.
Bai
Fang Li tinggal disebuah gubuk reot yang nyaris sudah mau rubuh, di
daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan banyak tukang becak, para
penjual asongan dan pemulung lainnya.
Gubuk itupun bukan miliknya, karena ia menyewanya secara harian.
Perlengkapan di gubuk itu sangat sederhana.
Hanya
ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat
dimana ia biasa merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari
mengayuh becak.
Gubuk itu hanya merupakan satu ruang kecil dimana
ia biasa merebahkan tubuhnya beristirahat, diruang itu juga ia menerima
tamu yang butuh bantuannya, diruang itu juga ada sebuah kotak dari
kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis
tua yang telah bertambal-tambal.
Ada sebuah piring seng comel yang
mungkin diambilnya dari tempat sampah dimana biasa ia makan, ada sebuah
tempat minum dari kaleng. Di pojok ruangan tergantung sebuah lampu
templok minyak tanah, lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi
kegelapan di gubuk tua itu bila malam telah menjelang.
Bai Fang Li tinggal sendirian digubuknya,
Dan orang hanya tahu bahwa ia seorang pendatang.
Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara sedarah.
Tapi nampaknya ia tak pernah merasa sendirian,banyak orang yang suka padanya,karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong.
Tangannya
sangat ringan menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan itu
dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan pujian atau balasan.
Dari
penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya,
sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak
untuk dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan
baju tuanya yang hanya sepasang dan sepatu bututnya yang sudah tak layak
dipakai karena telah robek. Namun dia tidak melakukannya, karena semua
uang hasil penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah Yayasan
sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak
yatim piatu miskin di Tianjin. Yayasan yang juga mendidik anak-anak
yatim piatu melalui sekolah yang ada.
Hatinya sangat tersentuh
ketika suatu ketika ia baru beristirahat setelah mengantar seorang
pelanggannya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki kurus berusia sekitar 6
tahun yang yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat barang seorang
ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan mengendong
beban berat dipundaknya, namun terus dengan semangat melakukan tugasnya.
Dan dengan kegembiraan yang sangat jelas terpancar dimukanya, ia
menyambut upah beberapa uang recehan yang diberikan oleh ibu itu, dan
dengan wajah menengadah ke langit bocah itu berguman, mungkin ia
mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu.
Beberapa
kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang
berbelanja, dan menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak itu
beranjak ketempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan
sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan
roti itu kemulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari
surga.
Hati Bai Fang Li tercekat melihat itu, ia hampiri anak
lelaki itu, dan berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia heran,
mengapa anak itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang
diperolehnya cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar
membeli makanan sederhana.
“Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya….” jawab anak itu.
“Orang tuamu dimana…?” tanya Bai Fang Li.
“Saya
tidak tahu…., ayah ibu saya pemulung…. Tapi sejak sebulan lalu setelah
mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus
bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih
kecil…” sahut anak itu.
Bai Fang Li minta anak itu mengantarnya
melihat ke dua adik anak lelaki bernama Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li
semakin merintih melihat kedua adik Wang Fing, dua anak perempuan kurus
berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan
sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping.
Bai
Fang Li tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak terlalu
perduli dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya
itu, karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat
parah, jangankan untuk mengurus orang lain, mengurus diri mereka sendiri
dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.
Bai Fang Li kemudian
membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang biasa menampung anak yatim
piatu miskin di Tianjin. Pada pengurus yayasan itu Bai Fang Li
mengatakan bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya
untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka mendapatkan makanan dan
minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan pendidikan yang layak.
Sejak
saat itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh becaknya
mulai jam 6 pagi sampai jam delapan malam dengan penuh semangat untuk
mendapatkan uang. Dan seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa
gubuknya dan pembeli dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan
sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya
ia sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat
kecilnya yang kekurangan.
Ia merasa sangat bahagia sekali
melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya.
Merupakan kemewahan luar biasa bila ia beruntung mendapatkan pakaian
rombeng yang masih cukup layak untuk dikenakan di tempat pembuangan
sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang tergoyak dengan kain yang
berbeda warna. Mhmmm… tapi masih cukup bagus… gumannya senang.
Bai
Fang Li mengayuh becak tuanya selama 365 hari setahun, tanpa perduli
dengan cuaca yang silih berganti, ditengah badai salju turun yang
membekukan tubuhnya atau dalam panas matahari yang sangat menyengat
membakar tubuh kurusnya.
“Tidak apa-apa saya menderita, yang
penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan
dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini…,” katanya bila
orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk
orang lain tanpa perduli dengan dirinya sendiri.
Hari demi hari,
bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 20 tahun Bai Fang
Li menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya
pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu. Saat berusia 90 tahun, dia
mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500 (sekitar 650 ribu
rupiah) yang disimpannya dengan rapi dalam suatu kotak dan
menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.
Bai Fang Li berkata, “Saya
sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi.
Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya sumbangkan……” katanya dengan
sendu. Semua guru di sekolah itu menangis……..
Bai Fang
Li wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan. Sekalipun
begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang sebesar RMB
350.000 ( setara 470 juta rupiah) yang dia berikan kepada Yayasan yatim
piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300
anak-anak miskin.
Foto terakhir yang orang punya mengenai dirinya
adalah sebuah foto dirinya yang bertuliskan ” Sebuah Cinta yang
istimewa untuk seseorang yang luar biasa”.
Berikut Pesan Singkat dari Kisah Diatas :
Harta
kekayaan yang manusia miliki, disana tersimpan hak fakir miskin dan
anak yatim, untuk itu harta tersebut harus diserahkan kepada golongan
yang berhak menerimanya agar mendapat berkah.
Zakat merupakan
salah satu kewajiban utama dalam ajaran agama islam, perintahnya selalu
digandengkan dengan perintah sholat. jika manusia melupakan maka Allah
akan menjatuhkan siksa kepadanya.
apabila perhatian bisa
diberikan sikaya kepada simiskin dalam bentuk zakat, infaq dan shodagah,
maka nasib si miskin akan berubah. dan untuk itu Allah akan menurunkan
rahmatNYA kepada manusia, sebagaimana dalam Al-Quran surat Al-Baqarah
ayat 261, dinyatakan :
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan
oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa
dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir
seratus biji, Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia
kehendaki dan Allah Maha luas (karunianya) lagi maha mengetahui.
Hilangnya
rasa aman, tenteram dan damai dalam kehidupan masyarakat merupakan
akibat begitu besarnya kesenjangan sosial ekonomi, sementara pemilik
harta seolah melupakan kewajibannya. mereka hidup tanpa memperhatikan
orang-orang disekelilingnya. mereka terbuai dengan kemewahan duniawi.
harta yang melimpah membuat mereka jauh dari perintah agama. bila sudah
demikian maka umat manusia harus bersiap diri untuk menerima azab dan
sengsara akibat kekikiran dan keserakahan.
Demikian kisah nya ,,,,
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
"Semoga Pembaca Menjadikan Kisah ini sebagai motivasi untuk melakukan perbuatan baik tanpa pamrih ... Aamiin"